Karya: Hasby Muhammad Ilyas
Pada tanah yang pernah digulung badai peluru,
tersisa jejak yang tidak bisa dihapus hujan:
luka yang dititipkan masa lalu
agar generasi hari ini belajar tentang cinta
dari sesuatu yang lebih dalam daripada kata-kata.
Mereka pergi tanpa menoleh,
meninggalkan harapan yang setengah patah
di beranda rumah dan dada ibu-ibu tua.
Namun dari kepergian itulah
kita memahami bahwa mencintai negara
sering berarti kehilangan yang sulit dibahasakan.
Luka itu tidak berwujud nisan saja;
ia hidup dalam cerita yang diceritakan setengah berbisik,
tentang keberanian yang tidak mencari sorak,
dan ketabahan yang tumbuh
di antara ketakutan yang tak pernah diakui.
Ada malam yang tidak tidur
menunggu kepulangan yang tak terjadi.
Namun dalam sunyi yang memanjang itu,
moral paling jernih terlahir:
bahwa kemerdekaan bukan milik satu nama,
melainkan hasil dari ribuan doa yang retak.
Kita mewarisi negeri yang utuh,
dari tangan-tangan yang pernah gemetar
mengangkat senjata seadanya.
Dan dari getar itulah kita tahu
bahwa keberanian tidak selalu keras
kadang justru lembut seperti bisikan terakhir.
Luka-luka lama kini menjadi pelajaran,
mengajar kita membedakan
antara mencintai dengan mulut
dan mencintai dengan pengorbanan.
Yang pertama mudah;
yang kedua menuntut kejujuran yang dalam.
Jika hari ini kita melangkah bebas,
ingatlah bahwa ada yang rela
mengunci langkah mereka dalam tanah.
Jika hari ini suara kita lantang,
ingatlah ada jiwa yang membiarkan suaranya padam
agar masa depan punya kesempatan berbicara.
Generasi kini tidak diminta menjadi pahlawan,
hanya diminta menjaga nilai yang sama:
tidak mengkhianati kebaikan,
tidak menjual keadilan,
dan tidak melupakan bahwa cinta
memerlukan tanggung jawab yang panjang.
Warisan luka itu mengajari kita
bahwa negara bukan sekedar tempat tinggal,
melainkan rumah yang harus dirawat
dengan hati yang tidak serakah.
sebab keserakahan adalah awal dari kehancuran
yang pernah mereka lawan dengan darah.
Maka dari setiap luka masa lalu
biarkan tumbuh pengertian baru:
bahwa cinta tanah air bukan ritual,
melainkan kesediaan menjaga amanah
yang pernah dibayar dengan nyawa.
Dan selama kita ingat itu,
luka itu akan tetap menjadi cahaya
yang menuntun bangsa ini pulang.
Penulis: Hasby Muhammad Ilyas | Editor: Taufik Fazri
COMMENTS