Prof. Sumanta di Forum AIAT 2025: Integrasi Sains dan Al-Qur'an Menjadikan Ilmu sebagai Zikir

Guru Besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Sumanta, menekankan pentingnya paradigma integrasi antara keilmuan Islam dan sains modern dalam studi Al-Qur'an. Hal tersebut disampaikannya saat berbicara dalam perhelatan The 8th Annual Meeting of Asosiasi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia & International Conference yang berlangsung di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, 28 November hingga 1 Desember 2025.

Dalam paparannya, Prof. Sumanta menyoroti bahwa dikotomi antara ilmu agama dan sains umum harus dihilangkan. Ia menganalogikan pertemuan kedua ilmu ini sebagai pertemuan antara wahyu yang bersifat "Top-Down" (dari Allah ke Nabi) dengan hasil pemikiran manusia dan observasi alam yang bersifat "Bottom-Up".

Belajar dari Pengalaman Integrasi Ilmu

Prof. Sumanta membagikan pengalaman risetnya pada tahun 2012 di Universiti Malaya, Malaysia. Ia mengaku terkesan dengan Fakultas Alam Bina (Sains Gunaan) di sana yang berhasil menyatukan kurikulum sains bangunan dengan pengajian keislaman dalam satu tarikan napas akademik.

"Gerakan integrasi keilmuan ini ternyata memiliki napas yang sama antara kita di Indonesia dengan di Malaysia. Mahasiswa tidak hanya dituntut menguasai sains, tetapi juga sumber ilmunya, yakni Allah SWT," ujarnya.

Menurutnya, ilmu harus dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Ketika seseorang mempelajari anatomi tubuh atau fenomena alam sampai pada titik kekaguman terhadap pencipta-Nya, maka proses belajar itu berubah menjadi zikir.

Kearifan Lokal Cirebon dan Pesan Al-Ghazali

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Sumanta juga mengaitkan nilai-nilai universal Islam dengan kearifan lokal Cirebon. Ia mengutip pepatah Cirebon "Enteng kecape, abot sanggane" (mudah diucapkan, namun berat pelaksanaannya).

Pepatah ini, menurutnya, selaras dengan nasihat Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad yang menyebutkan bahwa nasihat itu mudah dikatakan, namun sulit bagi nafsu untuk menerimanya karena pahitnya kebenaran. Hal ini menjadi pengingat bagi para akademisi bahwa ilmu bukan sekadar wacana, melainkan tanggung jawab yang berat untuk diamalkan.

Mukjizat Sains dalam Al-Qur'an

Lebih lanjut, Prof. Sumanta menyinggung fenomena Scientific Interpretation atau Tafsir Ilmi. Ia menyebut tokoh seperti Maurice Bucaille, seorang ilmuwan Prancis yang masuk Islam setelah menemukan kesesuaian antara fakta embriologi modern dengan ayat-ayat Al-Qur'an.

"Mempelajari Al-Qur'an dari sisi sains membantu kita memahami pola integrasi keilmuan yang sesungguhnya dan meningkatkan keimanan kita. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an relevan dengan penemuan ilmiah modern," tegasnya.

Menutup pembicaraannya, Prof. Sumanta mengajak para peserta konferensi dan akademisi tafsir untuk tidak berhenti pada kepuasan intelektual semata.

"Ilmu bukan hanya science for science (ilmu untuk ilmu), tetapi al ilmu lil amal (ilmu untuk amal) yang memberikan kemanfaatan bagi kemanusiaan," pungkasnya.

Penulis: - | Editor: Taufik Fazri