Dosen "Pendorong"
Motor
Oleh : Eki Nurhuda
*Penulis merupakan alumni Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Demisioner HMJ IQTAF (Dulu Tafsir Hadis) Divisi KOMINFO Periode 2017-2018, pernah menjadi kontributor Fajar Cirebon, sekarang tercatat sebagai jurnalis kuninganmas.com
Oleh : Eki Nurhuda
Aku adalah mahasiswa jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT) di
IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dulu, namanya masih Tafsir Hadist (TH). Ini adalah
tahun keempatku di kampus. Semester 8, sudah tidak ada mata kuliah, hanya skripsi.
Aku pergi ke kampus jika mendesak, dan hari itu memang cukup mendesak.
Tepat ketika ku kendarai sepeda motor di sekitar Jalan Majasem,
mesinnya mati. Motor mendadak berhenti, padahal aku harus segera. Kampusku di
Jl Perjuangan. Motorku berhenti tak jauh dari pertigaan Majasem. Sekitar
sekolah SD sebelum puskesmas.
Karena mesinnya mati, terpaksa kuturunkan standard dan kuperiksa
sejenak si motor tua. Nyatanya bensinku habis. Sial, speedometernya memang
mati, dan tadi pagi tidak diperiksa, aku lupa.
Motor terpaksa harus kupapah sendiri. Jujur saja, langkah
kakiku terasa berat, aku hanya bisa berjalan dengan gontai. Tapi mataku tetap
awas kesana-kemari, mencari pedagang bensin eceran yang mungkin saja sudah buka
pukul 07.30 pagi.
Keberuntungan datang, baru sepuluh meter memapah motor,
sebuah kendaraan tua beroda dua tiba-tiba memelankan lajunya di samping.
Perasaanku, pengendara seperti meneliti wajahku dari samping kanan. Langkah
kakiku tak kutahan, aku terus berjalan perlahan.
“Kenapa ki motornya, mogok ?” ujarnya.
Aku sejenak berhenti. Melirik kesamping kanan dan sebentar
menundukan kepala.
“Oh iya pak, abis bensin,” jawabku dengan senyum sungkan.
“Yaudah sok naik,nanti di-step,” ujarnya lagi.
“Gak usah pak, ngerepotin,” ujarku sungguhan.
Biasanya, ungkapan penolakan bantuan yang kuucapkan hanyalah basa-basi. Kali
ini sungguhan. Aku tak enak hati dibantunya.
“Udah gak papa ki, sampe ada tukang bensin aja, kalo gak
salah di depan masih lumayan,” ujarnya lagi.
Aku terpaksa menurut. Bukan saja karena jaraknya yang masih
lumayan, aku juga diburu waktu. Akhirnya kunaiki motor supra dan motorku
didorongnya dari samping. Di-step adalah istilah mendorong motor dengan motor.
Kaki pengendara motor yang mendorong, biasa diletakan di knalpot motor yang
berhenti atau di step penumpang.
Sekira 50 meter di-step, baru terlihat pedagang bensin.
Akhirnya motor berhenti dan aku sekali lagi mengangguk takdzim. Pengendara
motor yang mendorong juga tidak banyak berpesan apa-apa. Setelah menerima
ucapan terima kasihku, dirinya hanya ikut mengangguk dan melanjutkan
perjalanan.
Kalian tahu siapa yang tadi yang membantu ? Seorang pengajar
di IAIN juga, lelaki paruh baya. Usianya mungkin 50-an. Sudah dua Magister.
Meski hanya berkendara motor tua, jabatannya di kampus cukup bagus. Sekeertaris
jurusan. Lelaki dengan kacamata itu bahkan beberapa semester mengajar di
kelasku. Wawasannya luas tapi perangainya selalu lembut. Hampir tak ada
mahasiswa yang membencinya. Pusing karena tugasnya, itu hal lain.
Dari semua ilmu yang disampaikannya di kelas, mungkin saja
aku lupa semuanya. Tapi sederhana dan bersahaja yang dilakukannya kurang dari
lima menit, mungkin yang akan diingat sepanjang hayat.
Bayangkan, sejak awal kuliah, sebut saja aku sempat menyesal
‘salah masuk jurusan’. Tentu saja sebelum disini, aku mendaftar di beberapa
kampus ternama dengan jurusan umum. Pertanian. Di IAIN pun aku mendaftar di
Jurusan perbankan. Ilmu Alquran tak pernah ada dalam daftar keinginanku. Itu
berlaku hingga 4 tahun lamanya. Tapi lima menit itu saja, membuat pikiranku berubah.
Di jurusan dan kampus mana lagi, aku bisa mengalami hal seperti itu ?
Menakjubkan. Mungkin aku memang tersesat, tapi tersesat di jalan yang benar.
Kalian bisa nilai sendiri. Berkendara motor tua adalah
kesederhanaan, mungkin banyak. Tapi mendorong motor butut mahasiswanya yang
menjengkelkan di kelas, jelas itu bukti seorang bersahaja. Saat itu juga, dia
jadi dosen panutanku. Tapi aku adalah lelaki. Meski mau, Aku tidak bisa memuji
berlebihan. Meski mau, aku tak bisa menghormati berlebihan.
Dosen yang kuceritakan sejak tadi, kini jabatannya naik.
Sekarang Ketua Jurusan. DIa masih orang yang sama dengan perangai yang sama. Namanya
adalah Muhammad Maimun, M.A, M.S.I, Salam hormat, pak.
Note : Cerita ini berpotret di tahun 2017. Diambil dari
pengalan dari kisah nyata seorang mahasiswa.
*Penulis merupakan alumni Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Demisioner HMJ IQTAF (Dulu Tafsir Hadis) Divisi KOMINFO Periode 2017-2018, pernah menjadi kontributor Fajar Cirebon, sekarang tercatat sebagai jurnalis kuninganmas.com