Substansi di Balik Kompetisi


Ilustrasi Kompetisi
Oleh: Iis Sa’idatul Ulfah
Disciples 2014 Monash Institute, Mahasiswi Pascasarjana UIN Walisongo

Kompetisi merupakan ajang ekshibisi antar kontestan yang bersiteguh dan antusiasme terhadap pencapaian ambisinya. Semangat juang yang menyala-nyala kian bertambah, dan upaya dril kerap dilakukan. Namun, terkadang hasil tersebut tidak sesuai dengan expectatoin, seorang pesimistis akan menanggapinya sebagai kegagalan.

Terminologi menang dan kalah dalam suatu kompetisi itu sudah biasa, karena seorang pemenang sejatinya membutuhkan seorang loser. Para kontestan kompetisi acap kali menantikan kejuaraan senantiasa berpihak padanya, dan optimistis menyertai tekad kuatnya. Senyum lebar tersimpul pekat memenuhi wajahnya.

Kondisi spirit sebelum dan sesudah tampil, biasanya terlihat berbeda. sifat kontestan dalam kompetisi terbagi tiga, yaitu optimistis, pesimistis, dan naturalistis. Seorang optimistis sebelum dan sesudah tampil akan terlihat bergairah, walaupun melihat penampilan para kontestan lain yang lebih baik darinya. 

Berbeda dengan seorang pesimistis, sebelum tampil pikirannya masih terpusat pada visi yang ditargetkan. Namun, setelah melihat penampilan para kontestan lain yang lebih baik darinya, terlihat lesu, putus asa dan gundah. Seorang naturalistis berbeda dari keduanya. Sebelum dan sesudah tampil akan terlihat biasa saja, karena tekad yang ditargetkan bukan kemenangan atau kekalahan, tapi untuk menguji kualitas potensinya.

Seorang kontestan yang tidak terbiasa mengikuti kompetisi akan mengalami rasa kegentingan, seperti rasa takut, tegang, khawatir dan gelisah. Hal tersebut adalah salah satu penghambat fluensi saat tampil. 

Kiat untuk menghindarinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah menguasai panggung, latihan secara berulang-ulang dengan menghadirkan seseorang yang dijadikan juri atau penilai sementara, merefleksikan diri sebelum menjadi optimistis, dan siap menerima hasilnya. 

Berlatih juga perlu ada kemajuan dalam beberapa aspek. Berlatih ketika sebelum tampil itu tidak cukup sama sekali, melainkan dengan tempat, waktu dan event yang berbeda. Seorang kontestan yang berusaha memperjuangkan visinya, senantiasa melakukan eksperimen tanpa henti. Kompetisi pertama gagal, kedua gagal, ketiga gagal dan banyak mengalami kegagalan, tetap mencobanya sampai gol.

Berlatih dengan memperbanyak jam terbang itu lebih efektif, ekstensif dan produktif. Selain mendapatkan pengalaman, akan mengetahui setiap faktor yang melatarbelakangi kekalahannya. Pemain profesional dalam suatu kompetisi juga mengalami kekalahan terlebih dahulu beberapa kali. Mereka berhasil setelah menjalani masa-masa elusif.

Ada sebuah peribahasa yang berbunyi “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian”. Apabila seseorang ingin mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan dalam suatu hal, maka harus bersusah payah terlebih dahulu dan siap menerima tantangan serta konsekuensinya. 

Apabila usaha kita belum mencapai pada sasaran, hendaklah bertawakal. Menerima kekalahan bukan berarti lemah dan menyalahkan diri sendiri sampai stress. Menerima kekalahan dengan kelapangan justru menggambarkan akan kuatnya tekad yang sesungguhnya. Hal ini mengacu pada prinsip yang ditanamkan sejak dini.

Dalam diri manusia tentunya mempunyai jiwa kompetitif terhadap dirinya, orang lain bahkan sasaran yang diprioritaskannya. Manusia yang mempunyai jiwa kompetitif akan bergelut dengan rasa malas yang membandel dan tantangan yang elusif. Usaha penanaman tekad yang tepat dapat dilakukan sejak dini dengan beberapa upaya, dia  antaranya adalah: pertama, setiap melihat pertandingan, usahakan tidak menyalahakan siapa yang menang dan kalah. Berikan komplimen yang positif, karena mereka berjuang dengan bekal jerih payahnya.

Kedua, adanya doktrin bahwa kalah menang adalah suatu hal yang wajar. Apabila pesaing tidak ada yang kalah, namanya bukan bersaing. Karenanya, bersikap biasa saja ketika mengalami kalah atau menang.

Ketiga, tanamkan sebuah maklumat, bahwa setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda. Dalam upaya ini, kita akan menyadari akan kekalahan kita. Menyadari bukan berarti berhenti berusaha, namun mencari celah-celah penyebab dari kekalahan tersebut.

Keempat, menerima kekalahan dengan mensyukuri akan hasil dan proses yang telah dilakukan. Apabila menang, diusahakan tidak berlaku sombong. Apabila kalah, tidak usah berlalu dalam kesedihan dan megeluh yang berlebihan. Kita harus menyadari akan kemampuan dan proses dalam menggapai yang kita tuju. 

Uraia-uraian upaya penanaman tekad yang tepat di atas, menggambarkan esensi kompetisi dalam Islam yang sebenarnya. Esensi dari semua kompetisi itu hanyalah bersaing dalam hal-hal yang baik dan berusaha mendapatkan yang terbaik. Sebagaimana termaktub dalam Alquran surat Ali Imran ayat 148:Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat), sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Semua kompetisi yang bernuansa ukhrawi maupun duniawi, esensinya satu, yaitu untuk melakuakan kebaikan-kebaikan yang akan menunjangnya pada bekal akhirat. Karenanya, upaya yang ditekankan adalah mensyukuri setiap momen yang didapat. Semuanya diniatkan karena Allah sebagai Pemberi Akal dan Kemampuan yang beragam pada kita semua. Semoga kita mampu melakukan perbaikan-perbaikan yang dikehendaki-Nya. A>mi>n ya> Rabb al-‘A>lami>n.Walla>hu A’lam bi al-S}owa>b.

*Penulis menupakan alumni jurusan Ilmu Alqur'an dan Tafsir, dan kini sedang menempuh S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Jawa Tengah.
Previous Post Next Post