Oleh : Syfa Fauziah
Berpijak pada realitas demikian, Filusuf Francois Marie Arouet juga pernah mengatakan, bahwa semakin aku banyak membaca, maka semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, maka semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa-apa. Mengacu pada apa yang dikatakan Voltaire tadi, maka secara seksama menujukkan bahwa membaca adalah jalan untuk membuka gerbang pengetahuan. Sejalan dengan itu, Abdurrahman bin Nashir As-Sadi, dalam tafsirnya juga menyatakan bahwa Allah akan memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu. Maka Islam sangat memuliakan ilmu, para ahli ilmu dan proses penyebaran ilmu. Karya tulis yang dihasilkan oleh para ulama adalah bukti dari kedalaman ilmu mereka.
Di era modern seperti saat ini, Islam belum menemukan titik terang untuk memajukan peradabannya kembali. Bahkan, dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini, besar kemungkinan tidak ada harapan kejayaan itu terwujud kembali. Hal ini disebabkan karena masyarakat di seluruh dunia khususya umat Islam memanfaatkan segala kemajuan teknologi bukan untuk membesarkan Agama, akan tetapi justru malah terlena dengan kepraktisan yang dimiliki.
Apalagi di era digital seperti saat ini, kemudahan mendapakan informasi juga berimplikasi besar terhadap pola pembelajaran umat Islam secara keseluruhan. Mungkin, kenyataan ini semakna dengan fenomena masyarakat perkotaan di tahun 2001 sebagaimana yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Pada saat itu, Kuntowijoyo menyebut fenomena demikian dengan istilah “Muslim Tanpa Masjid”. Fenomena demikian diwujudkan karena terdapat masyarakat perkotaan yang ingin belajar ilmu agama, tetapi tidak sempat untuk mempelajari ilmu demikian. Mereka tidak belajar ilmu agama secara konvensional sebagaimana yang digemakan melalui surau, pondok pesantren, madrasah diniyah, pergurun tinggi Islam, dan tempat-tempat lain yang senafas dengan hal tersebut.
Akan tetapi, mereka belajar ilmu agama lewat media sosial yang serba selintas dan tergesa-gesa. Mereka hanya mengikuti tokoh-tokoh agama lewat kajian-kajian yang hanya terforsir di media-media sosial. Sehingga mereka tidak mempelajarinya secara kaffah, namun hanya selintas memahami status-status yang diupdate tokoh agama tersebut. Fenomena tersebut ada saat ini mulai muncul ke permukaan, sehingga kebanyakan masyarakat belajar keagamaan melalui jalan-jalan demikian.
Memang tidak semua kemajuan teknologi itu negatif, tetapi itu semua sangat berpengaruh terhadap literasi muslim yang makin menurun. Tidak sedikit umat muslim lebih kenal oppa-oppa korea dibanding para ilmuan muslim yang berkelas. Mirisnya lagi banyak masyarakat ketika menerima dalil-dalil di internet mereka setuju-setuju saja, tanpa mencari tahu seluk beluk atau asbabul nuzul dan asbabul wurud tentang sesuatu yang diterimanya.
Terlepas dari konteks demikian, kemajuan teknologi tanpa disadari menyebabkan nilai budaya terkikis dengan berpikir secara instan menjangkiti kebanyakan umat muslim. Berangkat dari kenyataan itulah, kemajuan umat Islam di era millenial tidak bisa dijelmakan secara seksama. Memang tidak bisa dimungkiri, kecanggihan teknolgi telah menjalar ke sendi-sendi kehidupan. Akan tetapi, pengajaran Islam sedikit banyak telah meninggalkan budaya sanad yang menjadi identitas budaya literasi umat Islam. Oleh karena itulah, budaya literasi yang telah mengalami pergeseran ke ranah digital tersebut menyebabkan budaya konsumsi keilmuan mengaami reduksi yang berkelindan.
Naasnya lagi, banyak masyarakat yang memahami makna literasi hanya sekedar membaca saja. Padahal, pendidikan literasi dalam Islam dimulai dari pemuliaan Islam terhadap ilmu dan upaya untuk menyebarkannya. Karena Rasulullah pun telah mencontohkannya, baik dari turunnya surat Al-Alaq ayat 1-5, dakwahnya secara sembunyi-sembunyi, sampai terang-terangan sebagai jalan untuk menyebarluaskan pemahaman literasi yang didasari dengan sistem yang memadai. Sistem pembelajaran yang diajarkan Islam, yaitu mengenai pemahaman terhadap ilmu dan teks secara benar, sehingga bisa memahami dan menguasai ilmu tersebut.
Setelah menguasai suatu ilmu maka langkah selanjutnya adalah menguasai metodologi penulisan. Ini merupakan modal penting yang harus bisa dimiliki oleh umat Islam yang berjiwa militan dan ini pula yang membedakan dengan cara penulisan selain Islam. Hanya penulis yang ahli dalam bidangnya serta memahami ilmunya dan berhak untuk menuliskan gagasannya. Rasulullah telah menyinggung tentang perkara ini "Apabila perkara (urusan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat." (HR. Bukhari).
Dengan demikian, menjadi PR besar bagi ummat muslim untuk memperbanyak literasi ke-Islam-an kemudian menjadikan tulisan yang mampu mencerdaskan dan mencerahkan orang. Sudah saatnya umat muslim bangun dari keterpurukan berpikir dan berkaca pada sejarah kejayaan muslim dulu agar menerapkan tradisi literasi keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu Alamu Bii Al-Shawaab.
Penulis merupakan mahasiswi semester 5.
Instagram : @Sfauziah06_
Editor : Iid Muhyidin