Membahas Ringkas Fiqh Puasa Perspektif Fiqh Syafi'i dan Far'ul Masail

 

Puasa adalah menahan makan, minum dan segala hal yang membatalkan sejak munculnya fajar hingga maghrib tiba dengan niat mencari ridho dari Allah ta'ala.

- Hukum puasa Ramadhan

Wajib puasa Ramadhan dengan 4 syarat:

1. Islam

2. Baligh

3. Berakal

5. Kuat


- Mengetahui bulan Ramadhan

1. Dengan ru'yatul hilal

2. Dengan sempurnanya bulan Sya'ban 30 hari atau melihat hilal dan diketahui juga dengan metode hisab qot'iy


- Rukun-rukun puasa ada 2:

1. Niat tiap malam untuk besok berpuasa Ramadhan karena Allah ta'ala

2. Menahan makan, minum, jimak dan segala hal yang membatalkan puasa sejak طلوع الفجر إلى غروب الشمش

______________________________________________________

Kata siyam dan soum adalah 2 masdar yang bermakna menahan diri. Secara syara' bermakna menahan diri dari perkara yang membatalkan dengan niat tertentu  

dalam seluruh waktu siang yang bisa digunakan puasa oleh orang muslim berakal dan suci dari haid dan nifas.

Syarat wajib berpuasa ada 4 perkara:

1. Islam

2. Baligh

3. Berakal

4. Mampu berpuasa


Kewajiban puasa ada 4 perkara:

1. Niat dalam hati tiap malam dan wajib ta'yin (menentukan puasanya dalam puasa Ramadhan)

2. Menahan diri dari makan dan minum

3. Menahan diri dari jimak dengan sengaja

4. Menahan diri dari sengaja muntah

______________________________________________________

Far'ul Masail 

1. Macam-macam melafalkan niat puasa dan bagaimana hukumnya ?

2. Ketika hilal sudah nampak di negeri orang lain, apakah negeri yang lainya harus mengikuti ?

3. Ketika imsak sudah dikabarkan tiap masjid/mushola apakah boleh lanjut makan dan minum ? Bagaimana hukum imsak ?

4. Apakah niat merupakan syarat ?

5. Apakah suci dari hadast besar merupakan syarat sah berpuasa ? 

6. Bagaimana puasanya orang sakit dan musafir apakah sah atau tidak ?

7. Apakah berpuasa lebih afdhol ketimbang berbuka ?

______________________________________________________

Macam-macam melafalkan niat puasa dan bagaimana hukumnya ?

Macam-macam lafadz niat puasa Ramadhan

نويت صوم غد عن أداء فرض شهر رمضان هذه السنة فرضا لله تعالى


محل الشاهد

رمضان هو اسم غير المنصرف بسسب علمية زيادة الألف و النون

قاعدة النحو مُعرّف بعد إشارة بأل أُعرِب نعتاً أو بياناً أو بدل أما هذه هو من اسم الإشارة فأهّل ذلك أي لفظ السنة بدل أو نعت أو عطف البيان


1. Menjadi mudhof ileh dari شهر sekaligus mudhof dari هذه السنة sehingga dibaca

 شهرِ رمضانِ هذهِ السنةِ

= Secara kaidah nahwu sah 


2. Menjadi mudhof ileh dari شهر namun tidak menjadi mudhof dari هذه السنة sehingga dibaca

 شهرِ رمضانَ هذهِ السنةَ

dengan mentakdirkan (mengira-ngirakan) هذه menjadi dzorof zaman.

= Secara kaidah nahwu sah


3. Menjadi mudhof ileh dari شهر namun tidak menjadi mudhof dari هذه السنة sehingga dibaca

 شهرِ رمضانَ هذهِ اسنةِِ 

dengan mentakdirkan adanya huruf jer في yang terkandung diantara رمضان في هذه

= Secara kaidah nahwu sah


4. Menjadi mudhof ileh dari شهر namun tidak menjadi mudhof dari هذه السنة sehingga dibaca

 شهرِ رمضانَ هذهِ السنةِ

dengan menjadikan هذه menjadi sifat dari رمضان sebagaimana pembahasan isyarah dan maushul hampir sama, dengan dalil شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ dimana lafadz -Romadhon- tidak digugurkan isim goirul munsorifnya bahkan ia tetap menjadi goiru munsorif. Yang di mana isim maushul menjadi na'at/sifat dari romadon. Dalil lainnya :

الابن الذي يقرا القران ماهر

Anak laki-laki orang lain yang akan membaca qur'an itu bagus

ابن الذي يقرأ القران ماهر

Anak laki-lakinya orang lain akan membaca qur'an itu bagus

الابن هذا يقرأ القران ماهر

Anak laki-laki yang ini akan membaca qur'an itu bagus

ابن هذا يقرأ القران ماهر

Anak laki-lakinya ini akan membaca qur'an itu bagus

# Dimana setiap sebelum isim maushul dan isyarah berupa ma'rifat maka isim maushul dan isyarah di'irobi menjadi na'at (lihat kembali kaidah nahwu di atas). Setiap sebelum isim maushul dan isyarah berupa nakiroh maka isim maushul dan isyarah di'irobi sebagai mudhof ileh.

Lalu bagaimana, manakah yang paling benar? Semua benar selagi pelafalan niat tidak jauh dari 4 hal ini atau semacamnya sebab keabsahan niat tidak akan berkurang sebab pelafalan. Asal dari pelafalan niat ialah sunnah, sedangkan asal letaknya niat ialah di hati. 

Kaidah fiqh مقاصد اللفظ على نية اللافظ tujuan lafad itu tergantung orang yang melafalkan. Sehingga adanya pelafalan niat adalah bentuk penguatan niat dan sama sekali tidak merusak keabsahan niat dengan syarat cara membacanya tidak jauh dari kaidah nahwu dan tidak melencengnya tujuan dari niat yang asli di dalam hati dan tidak salah dalam menta'yin (menentukan niat). Semisal dalam melafalkan niat puasa memang betul tapi hatinya sama sekali tidak berniat/di dalam hatinya malah berniat untuk yang lain-lain, hal seperti ini tidak sah.

Ketika hilal sudah nampak di negeri orang lain, apakah negeri yang lainya harus mengikuti ?

Ada 2 pendapat:

1. النظر

"Sesungguhnya beberapa negeri apabila مطالع nya tidak berbeda. Maka negeri lain wajib menyamakan dengan yang lainya. Karena sesungguhnya 2 negeri tersebut dalam satu قياس الأفق

2. أثر

Um Fadl binti harits mengirim Kuraib pada Mu'awiyah di Syam. Kuraib :"Aku telah melewati Syam kemudian aku tunaikan hajatnya Um Fadl dan telah masuk bulan Ramadhan padaku, sedangkan aku berada di Syam, aku melihat hilal saat malam Jum'at. Kemudian aku melintasi Madinah saat akhir bulan, lalu 'Abdullah ibn 'Abbas bertanya kepadaku lalu aku bilang mengenai hilal. Dia bertanya kepadaku :"Kapan anda lihat hilal?" Aku menjawab :"Saat malam Jum'at" Dia bertanya kembali :"Bener anda telah lihat?" Aku menjawab :"Benar dan yang lain juga melihat lalu mereka berpuasa begitu juga Mu'awiyah." Dia berkata :"Tetapi kami melihat hilal saat malam Sabtu, maka kami tidak berpuasa hingga 30 hari sempurna (Sya'ban) atau kami melihatnya." Aku berkata :"Apakah tidak cukup bagimu dengan ru'yatul hilalnya Mu'awiyah ?" Dia menjawab :"Tidak, beginilah Rasulullah memerintahkan kepada kami."

Sehingga para jumhur berpendapat   tiap negeri  لكل بلد رؤية memilikinya masing-masing.


Ketika imsak sudah dikabarkan tiap masjid/mushola apakah boleh lanjut makan dan minum ? Bagaimana hukum imsak ?

Imsak ialah menahan sebelum fajar muncul. Pendapat masyhur makan dan minum sampai fajar tiba boleh, bukan saat fajar tiba. Maka, ketika adzan Shubuh tiba dan ada sisa makanan di mulut, maka wajib baginya untuk dikeluarkan. Bila tidak, maka batalah puasanya. Apakah wajib imsak sebelum shubuh/fajar tiba? Hujah qoul pertama ialah hadist di dalam kitab Bukhori.

"Makanlah dan minumlah hingga Ibnu um Maktum adzan. Maka sesungguhnya dia tidak adzan hingga munculnya fajar."

Adapun seseorang yang berpendapar bahwasanya imsak ialah wajib sebelum fajar/shubuh, maka berlaku baginya sebagai kehati-hatian mereka. Pendapat ini sangatlah berhati-hati dalam berpuasa dan sangat dianjurkan.

Misal :

Waku shubuh asli : Jam 04 lebih 28 menit lebih 15 detik

Di Indonesia khususnya : 1-2 menit tiap jadwal sholat dilebihkan dengan tujuan untuk menunggu waktu sempurnya terlebih dahulu. Maka yang tadinya 04.28.15 menjadi 04.30

Mushola/Masjid : mengkabarkan imsak 04.20 dan waktu ini bukanlah pertanda memulainya puasa, melainkan waktu imsak (bersiap-siap menyambut waktu berpuasa/menahan). Maka boleh untuk makan dan minum dilanjutkan, hanya saja dikhawatirkan bila terus dilanjutkan sudah masuk waktu shubuh dan menyebabkan batal puasanya. Oleh karena itu, lebih baik sudah menahan 5-15 menit waktu shubuh asli bukan tambahan. Yakni 04.28.15 dikurangi 5-15 menit sebelumnya yaitu mulai menahan sejak 04.13.15 sampai 04.23.15 bukan 04.15 sampai 04.25 karena khawatir kebablasan hingga adzan tiba yang mana padahal waktu aslinya ialah sudah 1-2 menit yang lalu dari waktu tambahan.


Apakah niat merupakan syarat?

Jumhur :"Niat adalah syarat di dalam sahnya puasa."

Pendapat زفر yang syadz (aneh/menyendiri dari yang lain) :"Tidak dibutuhkan niat saat Ramadhan, kecuali bila orang itu sakit atau bepergian kemudian mereka ingin tetap berpuasa, maka butuh niat dalam hal itu."

Sebab perbedaan pendapat adalah apakah puasa ibadah yang bisa dinalar ataukah tidak.

1. Bila menganggap ibadah yang tak bisa dinalar maka wajib niat.

2. Bila menganggap ibadah bisa dinalar seperti pendapatnya زفر maka tak wajib niat.


Apakah suci dari hadast besar merupakan syarat sah berpuasa ? 

Jumhur :"Suci bukanlah syarat dalam sahnya puasa."

Karena adanya hadist dari 'Aisyah dan Um Salamah yakni istrinya Nabi, mereka berkata :"Rasulullah bangun pagi dalam keadaan junub sebab jima' bukan sebab mimpi ketika Ramadhan kemudian beliau berpuasa." Maksudnya ialah entah itu di waktu sahur beliau berjimak dengan dengan salah satunya, kemudian Rasulullah bangun setelah adzan, sedangkan posisi masih junub. Lalu dilain hari beliau juga menjimak salah satu istrinya kemudian kejadian seperti sebelumnya yakni bangun setelah adzan, sedangkan posisi masih junub. Hal ini merupakan hujjah bahwasanya suci dari junub bukanlah syarat sah puasa. Lalu, bagaimana ketika tidur setelah waktunya berpuasa entah itu setelah sholat shubuh atau jam 8 pagi kemudian saat bangun ada mani, batalkah puasanya ? Ijma sepakat hal demikian tidak merusak/membatalkan puasa dengan syarat bukan disengaja mengeluarkan maninya.


Bagaimana puasanya orang sakit dan musafir apakah sah atau tidak ? 

Jumhur :"Jika berpuasa, ya maka terjadilah puasa dan telah mencukupinya."

Ahli dzohir :"Mereka tidak mencukupi dan sesungguhnya fardhu mereka diganti pada lain hari."

Sebab perbedaan pendapat ialah تردد dalam firmanya Allah ta'ala فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

Jumhur menafsirkan ayat di atas dengan majaz dan adanya sesuatu yang dibuang yang mengirakan adanya lafadz yaitu فأطر sebelum فعدة sedangkan ahli dzohir menafsirkan secara haqiqat.

Jumhur :"Fardhu mengganti dilain hari bila berbuka saat sakit atau bepergian."

Ahli dzohir :"Tidak boleh puasa dan tak mencukupi dan harus diganti dilain hari."

Jumhur mendatangkan dalil hadist dari Anas :"Kami bepergian bersama Rasulullah ketika Ramadhan, kemudian yang berpuasa tidak menyalahi yang berbuka dan yang berbuka tidak menyalahi yang berpuasa." Lalu mendatangkan hadist dari Anas juga :"Sahabat-sahabat Rasulullah bepergian kemudian sebagian berpuka sebagian berpuasa."

Ahli dzohir mendatangkan dalil hadist dari Ibn Abbas :"Sesungguhnya Rasulullah keluar Mekkah saat عام الغتح  ketika bulan Ramadan. Kemudian berpuasa hingga Rasulullah sampai di desa الكديد lalu berbuka, demikian juga yang lain." Ahli dzohir perbedabat aneh(syadz):"Dalil ini menaskh bolehnya berpuasa saat bepergian." Abu Umar berkata :"Pendapat mereka ini aneh, ayat al-Qur'an orang bepergian disandingkan dengan yang sakit. Tapi, mereka mengatakan bepergian tidak boleh puasa, sedangkan orang yang sakit boleh puasa. Lalu mereka berpendapat hadist dari Ibn Abbas ini menaskh yang sebelumnya yakni kebolehan berpuasa. Ini sangat aneh sekali, padahal syarat dari naskh salahsatunya ialah ta'arudhnya 2 dalil yang memang betul-betul tidak bisa dikompromikan. Sedangkan hadist sebelumny yakni kebolehan berpuasa bagi musafir, sama sekali tidak bertentangan."


Saat sakit dan bepergian mana yang lebih afdhol ?

Imam Malik dan Abu Hanifah :"Berpuasa lebih afdhol."

Imam Ahmad dan sekelompok orang :"Berbuka lebih afdhol."

Sebagian yang lain :"Hal itu merupakan takhyir (dipersilahkan milih) dan tidak ada diantara keduadanya yang lebih afdhol."

Sebab perbedaan mereka bertentangan dengan apa yang dipahami dari sebagian dalil yang dinukil.

Hadist dari Hamzah ibn Amr al-Aslami dalam kitab shohih muslim "Ya Rasulallah, aku menemukan di dalam diriku kekuatan untuk berpuasa dalam perjalanan maka apakah bagiku dosa akan hal demikian ? Rasulullah menjawab :"Berbuka ialah rukhsoh (keringanan) dari Allah, maka siapapun yang mengambil keringananya maka itu lebih bagus. Dan siapapun yang suka berpuasa maka tidak ada dosa baginya." Ini dalil afdhalnya berbuka ketimbang berpuasa

Rasulullah bersabda :"Bukan termasuk kebagusan engkau berpuasa ketika dalam perjalanan." Ini dalil afdhalnya puasa ketimbang berbuka

Dari Aisyah :"Hamzah ibn Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah tentang berpuasa dalam perjalanan. Rasulullah menjawab Jika engkau hendaki berpuasa maka berpuasalah, jika engkau hendaki berbuka maka berbukalah." Ini dalil takhyir (hak memilih) dan tak ada kelebihan diantara salah satunya.

Apakah bolehnya berbuka bagi musafir hanya perjalanan yang sudah ditentukan ataukah tidak ?

Ulama berpeda pendapat mengenai perjalanan

Jumhur berpendapat :"Bolehnya berbuka dalam perlajanan ialah yang ada ukuran jarak untuk bolehnyamengqoshor sholat di dalam perjalan tersebut."

Ahli dzohir berpendapat :"Bolehnya berbuka dalam perjalanan ialah tiap sesuatu yang dimutlakan dalam perjalanan tersebut ialah nama atas suatu perjalanan."

Sebab perbedaan mereka adalah bertentanganya lafadz dzohir terhadap makna. Yakni lafadz dzohirnya فمن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخرadapun makna yang dinalar dari bolehnya berbuka di dalam perjalanan ialah adanya suatu kerepotan. Maka boleh berbuka di dalam perjalanan yang di dalamnya mengandung kerepotan.

Adapun jumhur membatasi bolehnya berbuka dalam perjalanan ialah ketika sudah sampai batas perjalanan bolehnya mengqoshor sholat.

Ulama berpendapat mengenai orang yang sakit

Imam Malik :"Orang yang sakit bolehnya berbuka ialah adanya kerepotan di dalamnya dan adanya bahaya/sangat butuh untuk berbuka."

Imam Ahmad :"Orang yang sakit adalah yang sakitnya itu parah."

Suatu kaum berpendapat :"Apabila nama orang yang sakit dimutlakan pada seseorang maka boleh berpuasa."

Sebab perbedaan mereka adalah sebab perbedaan mereka di dalam had(batasan) perjalanan dalam bolehnya berbuka puasa.


Referensi :

Fiqhul Wadhi, Juz 2

Fathul Muin

Fathul Qorib

Bidayatul Mujtahid, Juz 1

Minhajut tholibin

Hasyiah Bajuri, Juz 1


Oleh : Akmal Rijaldi Maulana (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Semester 4)

Editor : Muhammad Wildan Najwanuddin

Mau Kirim Tulisan ke Web HMJ? Klik Disini

Previous Post Next Post