Etika Bermasyarakat dalam Q.S. Al - Hujurat Ayat 11

Oleh:

Atika Hafsah Aliyah dan Dhoni Muhammad Ghifari

Penulis merupakan Mahasiswa/i Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya


Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia adalah makhluk sosial; makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya. Contoh sederhananya adalah saat sedang menyelesaikan tugas kelompok, pasti kita butuh kerjasama yang baik antar anggota. 

Interaksi sosial akan terjalin dengan baik ketika bisa saling memahami, menghargai, menimbulkan aura positif, dan memiliki etika yang baik. Akan lain suasananya ketika satu individu memiliki etika yang yang kurang baik.

Dr. Simorangkir menyatakan bahwa etika adalah kode etik dalam sudut pandang manusia yang berkaitan dengan penilaian perilaku baik dan buruk, atau dalam artian etika dapat disebut tata sopan santun, tatakrama, serta sejenisnya.

Dalam Islam, Rasulullah SAW. banyak mengajarkan kepada umatnya mengenai pentingnya memiliki etika. Q.S. Al Hujurat ayat 11 adalah salah satu ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan mengenai 2 bentuk etika dalam bermasyarakat yang harus diterapkan: 

1. Tidak Merendahkan Orang Lain

Tidak jarang di sekeliling kita melihat fenomena-fenomena yang mengakibatkan terpecahnya keharmonisan dari suatu masyarakat/interaksi sosial, dikarenakan perkataan, perilaku, atau perbuatan yang lepas kendali. Dan biasanya itu karena emosi, atau faktor adanya etika yang buruk.

Fakta yang banyak terjadi yaitu bullying dari tingkat tinggi-rendah. Memandang orang lain sebelah mata, meninggikan diri untuk terlihat luar biasa, dan merasa berkuasa adalah faktornya; akibatnya bisa merugikan lawan bicara/seseorang, dan juga bisa menimbulkan persengketaan.

Al Qur’an surah Al Hujurat [49]: 11 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya:  “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Pada firman Allah SWT. mengenai “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain”, disini bisa direnungkan dan diperhatikan, bahwa Allah SWT. melarang hamba-Nya untuk melakukan etika tercela, yaitu menghina orang lain. Dalam tafsir Ibn Katsir diperjelas bahwasannya kedudukan mereka sama seperti orang yang sombong. 

“Kesombongan itu adalah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia.” (Hadits Shahih). Kemudian Allah SWT. menegaskan kembali pada QS. Al Hujurat ayat 11, dimana boleh jadi mereka yang direndahkan itu memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah SWT.

Mufassir nusantara, Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al Misbah memperjelas bahwa dari kata يَسْخَر atau memperolok-olokkan, dimana itu menyebut kekurangan orang lain dengan tujuan bahan komedian/tertawaan.

2. Tidak Memanggil Orang Lain dengan Gelar Buruk

Cuplikan dari firman Allah SWT. di Q.S. Al Hujurat ayat 11 yang berbunyi, “janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk”; dimana dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa panggilan itu seperti panggilan yang tidak nyaman untuk didengar. 

Memanggil orang dengan sebutan atau gelar buruk adalah salah satu bagian etika tercela yang bertujuan untuk merendahkan orang lain dengan ucapan/lisan, bahkan bisa juga bentuk teks/tulisan/ketikan. Para mufasir sepakat melarang untuk melakukan hal tersebut dalam segi apapun.

Mufasir klasik terkemuka asal Irak, Ibnu Jarir Al-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami‘ Al-Bayan ‘an Ta’wil ayy Al-Qur’an mentakwil lafadz تَنَابَزُوْا menjadi 3: panggilan yang orang merasa tidak menyukainya; panggilan kepada golongan muslim/non muslim, dan panggilan dengan amal-amal buruknya setelah bertobat.

Penafsiran senada disebutkan oleh Abdul Malik Karim Amrullah atau populer dengan Buya Hamka dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar; di mana Hamka menolak panggilan-panggilan buruk, meskipun sebutan tersebut sebagai lelucon dari perangainya, seperti “farhan si tower”, “nona si tuyul”, atau “kevin si ketiak”.

Dari penjelasan diatas, boleh dikatakan bahwa aktivitas etika tercela tersebut dapat menyinggung perasaan lawan bicara yang bisa menimbulkan kerusuhan.

Q.S. Al-Hujurat ayat 11 menerangkan kepada siapa saja yang melakukan 2 bentuk etika tercela, maka dikelompokan ke dalam golongan orang-orang yang dzalim; seseorang yang merugikan orang lain dan juga dirinya sendiri.

Demikian bentuk etika bermasyarakat dalam Q.S. Al Hujurat ayat 11. Jika ditinjau dari segi mafhum mukhalafah, maka sangat penting bagi seorang muslim dalam memiliki etika yang baik agar terjalin hubungan/interaksi masyarakat yang harmonis dan juga bisa mencerminkan agama Islam dengan cahaya kebaikan.


Editor: Muhammad Wildan Najwanuddin

Dok. Pribadi


Previous Post Next Post