Oleh:
Akmal Rijaldi Maulana
الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله أفضل الأنام الآتي بأحسن الحديث وأصدق الكلام وآله وأصحابه أجمعين
Sesuai dengan judulnya, karya tulis ini lahir untuk menanggapi sekaligus membantah proposisi beredarnya pemahaman "Al-Qur'an adalah kalam Rasul" dengan akal sehat dan pentingnya bermadzhab. Dalam tulisan ini pembaca akan tahu bagaimana pola berpikir orang yang mengatakan hal tersebut terhadap apa yang ia katakan sendiri, sejatinya tidak mengetahui apa yang ia katakan.
Melalui hal ini, semoga saudara-saudara kita yang selama ini memicingkan mata terhadap sebagian umat Islam yang menganut madzhab bisa segera sadar, bahwa bermadhzab pada hakikatnya adalah sebuah keniscayaan. Sebab, pemahaman beragama ini tidak bisa peroleh tiba-tiba langsung nyambung ke Rasulullah saw., melainkan melalui transmisi para sahabat-ulama-mujtahid yang terpercaya kredibilitas dan keikhlasannya. Singkat kata, apabila pembaca menemukan kalimat yang janggal atau sulit dipahami, penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan terimakasih sudah membacanya dengan kebijaksanaan.
PROPOSISI KATEGORIS
Dalam sebuah media ada seorang tokoh pemuka agama Islam menyatakan bahwasannya "Al-Qur'an adalah kalam Rasul". Dengan membawa salah satu dalil Al-Qur'an, kemudian ada beberapa dosen Universitas Islam Negeri yang mendukung pernyataan ini dengan membawa beberapa dalil Al-Qur'an, keduanya terekam dalam sebuah media.
Pertanyaan:"Apakah betul Al-Qur'an adalah kalam Rasul ?". Penulis akan menjawab dengan dalil aqli, sebagaimana pernyataan orang tersebut yang memahaminya dengan dalil aqli yang dominan. Oleh karena itu, ketika ada sebuah pernyataan berdasarkan akalnya, maka mesti ditanggapi juga dengan akal.
Jawaban: Penulis akan menjawab proposisi tersebut tanpa silogisme, konklusi, premis yang dikira-kirakan dan lain-lain. Sebab, mereka hanya menyampaikan satu proposisi tanpa menyatakan proposisi lain, entah itu sebagai premis minor maupun mayor, begitulah sederhananya.
Di dalam ilmu mantiq (logika) ada pembahasan yang namanya 'Aks (pembalikan). Contoh
"Manusia adalah hewan". Maka memiliki arti:
1. Manusia adalah hewan = tidak satupun dari yang bukan hewan adalah manusia.
2. Manusia adalah hewan = setiap yang bukan hewan adalah bukan manusia.
3. Manusia adalah hewan = sebagian hewan adalah manusia.
Dari ketiga hal ini, kita bisa mengetahui bahwa sebuah pernyataan memiliki beberapa pembalikan yang di mana syarat-syarat dari sahnya 'aks yakni tetapnya kebenaran, kualitas, kuantitas, dan memiliki kelaziman. Yang pertama itu disebut 'aks naqidh mukhtalif, yang kedua disebut 'aks naqidh muwafiq, yang ketiga disebut 'aks mustawi. Oleh karena itu, apabila kita pahami, makna proposisi dari "Al-Qur'an adalah kalam Rasul". Sebelum lanjut, tentu yang dimaksud mereka yaitu adalah setiap isi Al-Qur'an yang diucap adalah kalam Rasul, sebab apabila mereka meniatkan proposisi tadi secara universal esensial maka hadis pun mereka maknai sebagai Al-Qur'an, walaupun mereka tidak menyadari apa yang mereka ucapkan, bukankah hal ini menunjukan betapa akal mereka saling berlawanan (kontradiktif)? Selanjutnya, maka pembalikan proposisi tersebut yaitu:
1. Setiap isi Al-Qur'an adalah kalam Rasul = Tidak satupun dari yang bukan kalam Rasul adalah isi Al-Qur'an.
2. Setiap Al-Qur'an adalah kalam Rasul = Setiap yang bukan kalam Rasul adalah bukan Al-Qur'an.
3. Setiap Al-Qur'an adalah kalam Rasul = Sebagian kalam Rasul adalah isi Al-Qur'an.
Faktanya pemaknaan proposisi tersebut, mereka saja tidak menyadari dari proposisi yang mengalami perubahan. Sehingga, ketika mereka membangun sebuah argumentasi untuk mendukung proposisi tersebut, sejatinya mereka tidak memahami kerangka berpikir. Sebagaimana yang mereka katakan
قال رسول الله في القرآن الكريم
mereka berdalih bahwasanya seperti apa yang mereka ucapkan dalam sebuah diskusi pada salah satu media "Allah yang memberi wahyu, Muhammad yang menyampaikan wahyu. Tentu, yang menyampaikan wahyu bukan malaikat kepada hamba-hamba yang lain, tentunya bukan Allah langsung. Itulah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. dengan bahasanya". Maka hal remeh sepeti ini mudah saja untuk dibantahkan dan bahkan jumhur ulama pun tidak ada yang mengatakan hal ini, namun agar menjaga kualitas keilmuan para ulama, maka cukuplah bagi mereka dibantahkan dengan seorang yang sedang belajar.
Selanjutnya karena pemahaman mereka terhadap lafad قال adalah "berkata" yang artinya "Rasulullah berkata di dalam Al-Qur'an." Pernyataan remeh seperti ini langsung saja kita tanyakan balik untuk meruntuhkan akal kontradiktif mereka, "Bagaimana menerjemahkan kata dari berfirman-bersabda-berkata di dalam bahasa Arab?" Bukankah sama yaitu lafad قال maka, harus diketahui bahwa ada takhsis lafad "qola" apabila dinisbahkan pada Al-Qur'an. Sebab, tidak selamanya faedah (tujuan makna) bahasa lain bisa diterjemahkan ke bahasa yang lain dengan maksud yang sama pada asalnya.
Kesimpulanya, ketika hendak membawa dalil Al-Qur'an maka yang harus dinisbahkan itu ialah Allah Swt. bukan Rasulullah saw., sebagaimana ketika kita hendak menyampaikan hadis kepada teman kita, maka yang dinisbahkan itu ialah Rasulullah saw. bukan siapa yang menyatakan, yang artinya penisbatan khusus itu merupakan pemilik asli. Dalam konteks ini Al-Qur'an dan hadis memiliki hal khusus terhadap penisbatanya.
Dari seluruh hal tadi, bisa kita pahami bahwasanya apabila Al-Quran adalah kalam Rasul, maka artinya Al-Qur'an adalah karangan Rasul (sebagaimaa dijelaskan sebelumnya, memiliki faedah kepemilikan), "bukankah pernyataan seperti ini telah merusak salah satu rukun iman? Tetapi, apakah mereka yang berani mengatakan demikian itu menyadari hal tersebut?" Tentu tidak bukan. Semua hal tadi, tidak akan terjadi jika kita memiliki sanad keilmuan yang terjaga dalam beragama khususnya Islam yakni pentingnya bermadzhab, memang betul kita adalah negara Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila yang menyatakan bebas beragama secara konstitusi ialah hak, yakni agama boleh diambil dan boleh tidak.
Tapi, apabila kita sudah memilih salah satu agama resmi maka ada kewajiban fundamental bagi tiap pemeluk agama terhadap agama yang dianut. Sehingga, apabila hal tersebut dilanggar atau keluar dari prinsip-prinsip agama yang dianut tentu ada pelanggaran hukum maupun secara agama, maka berhati-hatilah dalam memahami agama tanpa didasarkan kesepakatan para cendekiawan agama tersebut khususnya Islam sebab beragama yang rasional saat ini adalah bermadzhab, pernyataan ini saya sampaikan sebab penulis banyak sekali mengambil pikiran beliau, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami karya tulis ini dengan dukungan karya Sayyid Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy yang berjudul
اللامذهبية أخطر بدعة تهدد الشريعة الإسلامية
Sekali lagi pembaca yang budiman akan dapat menilai, semoga Allah Swt. menunjukkan kepada kita semua mana yang harus dipilih, yang lebih menjamin keselamatan agama di Akhirat nanti, sebelum menutup karya tulis ini, ada hadis Rasulullah saw.
من فسر القران بالرؤيه فليتبوأ مقعده من النار
"Barang siapa yang memahami atau menafsirkan pada Al-Qur’an dengan akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka."
Sekian terimakasih.
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Semester 4
Edito: Muhammad Wildan Najwanuddin