![]() |
| Ilustrasi kerusuhan. Pinterest/bismillah |
Baru-baru ini, masyarakat kembali disuguhi berbagai aksi demonstrasi
bernuansa anarkis. Sasaran aksi tersebut tidak lagi terbatas pada gedung-gedung
pemerintahan, melainkan merambah ke kediaman (rumah) sejumlah tokoh politik dan
pejabat publik.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian warga melakukan penjarahan terhadap
barang-barang berharga di rumah pejabat publik, bahkan merusak berbagai
fasilitas yang ada di dalamnya dan di sekitarnya. Tindakan semacam ini kerap
dibenarkan dengan dalih bahwa harta para pejabat yang dianggap korup boleh
diambil dan dijarah (halal untuk dicolong).
Jika penulis cermati, gerakan tersebut justru memvisualkan paradoks dengan
instruksi Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadis beliau menegaskan: “Tidak boleh
memberikan mudarat, baik dengan disengaja maupun tanpa disengaja” (Lihat:
Arba’in an-Nawawiyah, no. 32). Demikian pula, hadis lain menekankan: “Tidak
halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya” (HR.
Ad-Daraquthni).
Berangkat dari fenomena tersebut, penulis terdobrak untuk melakukan
pembacaan ulang akan wahyu Ilahi terhadap pesoalan di muka. Fokus utama tulisan ini ialah
memotret praktik penjarahan aset rumah pejabat publik dalam semangat QS.
An-Nisa: 29, sekaligus merumuskan strategi preventif untuk menghindarinya
beralaskan Al-Qur’an.
Sebutan Penjarahan dalam Sorotan Yurisprudensi
Dalam perbendaharaan yurisprudensi (Fiqih) Islam, istilah penjarahan
dikenal dengan sebutan intihab. Terma tersebut merujuk pada gerakan mengambil
harta milik orang lain secara arogan dan dalam kondisi pemiliknya tidak
mengetahui atau tidak merelakannya.
Istilah intihab (penjarahan) kerap berbeda dengan kata sariqah (pencurian).
Menurut Ibnu Hajar, dalam Fathu al-Bari, menginformasikan secara tegas bahwa
sebutan intihab diaksikan secara terbuka, dan terkadang dipolesi gerakan
anarkis (kekerasan). Sementara itu, kata sariqah justru berlangsung secara
tersembunyi, tanpa sepengetahuan pemilik harta (kebalikan dari intihab),
sehingga keduanya menjadi antonim dalam konteks pengambilan barang.
Selain disebut intihab, terdapat pula terma lain yang mendekati makna
tersebut, seperti ghashab (merampas hak orang lain secara zalim) dan qat‘u
al-thariq (perampokan di jalanan). Ketiganya, meski berbeda dalam wujud
praktiknya, pada prinsipnya sama-sama termasuk tindakan zalim yang jelas
diharamkan dalam Islam. (Lihat: Fathu al-Qarib al-Mujib, hal. 62 dan 101)
Dapat disimpulkan, bahwa sebutan penjarahan dalam khazanah yurisprudensi
Islam, memuat tiga terma: 1) terma Intihab (istilah primer), 2) terma ghashab,
dan 3) terma qath‘u at-thariq (istilah sekunder).
Kecaman QS. An-Nisa: 29 terhadap Aksi Penjarahan
Seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa praktik penjarahan terhadap
harta milik orang lain sangatlah paradoks dengan pilar-pilar Islam dan termasuk
pelanggaran secara horizontal dalam konteks kemasyarakatan. Bahkan Al-Qur’an
sendiri, menggugat praktik-praktik yang mewujudkan mafsadat yang keluar dari
lapangan kemaslahatan (Lihat: Diktum QS. Ali-Imran: 109 dan QS. Al-Asr: 3).
Dalam membaca fenomena tersebut, penulis hanya terfokus pada QS. An-Nisa: 29 meskipun beragam ayat ikut bermain dalam permasalahan tersebut (kasus penjarahan). Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Pemaknaan ayat tersebut, direspons oleh Ibnu Katsir yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta kita di antara kita dengan cara batil. Sementara makanan adalah harta yang paling utama. Maka tidak halal bagi salah seorang dari kita untuk memakan (makanan/harta) salah satu dari kita. Bagaimana lagi dengan memakan atau memgambil (harta) orang-orang lain?’” (Lihat: Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 2, hal. 268)
Disambut juga dengan laporan Prof. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Ia menjelaskan bahwa ayat tersebut menginformasikan wujud kelemahan manusia yang cenderung bersifat arogan dalam menggapai gemerlap duniawi , baik berupa wanita, harta, dan tahta. Selain itu, ayat di muka juga mengajak untuk mencari harta dengan jalan yang baik dan tidak keluar dari lapangan syariat. (Lihat: Tafsir al-Mishbah, Juz 2, hal. 411)
Disamping kecaman QS. An-Nisa: 29, beragam pula ayat semisal yang menggugat praktik tersebut (mencari hara dengan menjarah). Berikut rinciannya: 1) QS. An-Nahl: 14, dan 69, 2) QS. Maryam: 26, 3) QS. Al-A’raf: 19, 31, 160, dan 161, 4) QS. Al-Baqarah: 35, 57, 58, 60, 168, 172, dan 187, 5) QS. Taha: 54, dan 81, 6) QS. Al-An’am: 118, 141, dan 142, 7) QS. Al-Maidah: 4, dan 88, 8) QS. Al-Mu’minun: 51, 9) QS. Saba’: 15, 10) QS, At-Tur: 19, 11) QS. Al-Haqqah: 24, 12) QS. Al-Mursalat: 43, dan 46, 13) QS. Al-Hijr: 1, 14) QS. Al-Anfal: 69, 15) QS. Al-Hajj: 28, 16) QS. Al-Mulk: 15, 16) QS. An-Nisa: 4. (Lihat: Fathu al-Rahman li-Thalib al-Ayat al-Qur’an, hal. 55-56)
Pendek kata, setelah memeriksa diktum QS. An-Nisa: 29 dengan penafsiran kedua tokoh tersebut, dapat diikhtisarkan bahwa ayat tersebut memberi rambu-rambu moral bagi umat manusia agar selalu menahan diri dari sifat arogan (penjarahan), terutama dalam konteks mencari rezeki.
Strategi Qur'ani untuk Mengatasi Jiwa Penjarah
Kehadiran Al-Qur’an dapat diibayangi sebagai pelita yang menerangi
kehidupan manusia setelah diliputi kegelapan yang menyesakkan jiwa (Lihat: QS.
Al-Baqarah: 157). Al-Qur'an telah menegaskan janjinya untuk senantiasa menjadi
sumber petunjuk sekaligus penawar dalam setiap lintasan zaman (Lihat: QS.
Al-Baqarah: 185 dan QS. Al-Isra:82)
Slogan tersebut menggiring penulis untuk selalu meyakini bahwa tidak ada
satu pun persoalan hidup kecuali terdapat sinaran dalam Al-Qur’an (Lihat: QS.
An-Nahl: 89). Dengan demikian, untuk meredam jiwa penjarah, penulis menyuguhkan
tiga resep utama untuk memotori sifat arogan tersebut. Berikut uraiannya:
1. Meningkatkan Kualitas Takwa kepada Allah Swt
Prasyarat awal jika seseorang ingin terbebas dari jiwa penjarah, maka ia
harus menghapus sikap arogannya menuju pribadi yang penuh takwa (secara
vertikal maupun horizontal).
Al-Qur’an menginformasikan bahwa
Alllah Swt akan menjamin segala keperluan hamba-Nya yang penuh takwa (Lihat: QS. At-Talaq: 3).
2. Berusaha (Ikhtiyar) dengan Paripurna
Al-Qur’an sendiri senantiasa menyinari manusia agar selalu kiat dalam
mencari rezeki secara konsisten sesuai syariat (maslahah), bukan melalui aksi
penjarahan yang bersifat mafsadat (Lihat: QS. An-Nahl: 39).
3. Meyakini Bahwa Ketetapan Rezeki sudah diedit oleh Tuhan
Resep terakhir ini, mengajak
untuk meyakini sepenuh hati bahwa segala
rezeki (material/ nonmaterial) sudah ditetapkan oleh Allah atas ke-Maha
Adilan-Nya. (Lihat: QS. Hud: 6)
Dengan demikian, paparan dimuka bisa dipetik intisarinya, bahwa segala bentuk gerakan yang menggangu hak milik orang lain itu dilarang. Sebab praktik tersebut berbenturan dengan misi sinaran wahyu Ilahi (Al-Qur’an) yang menekankan pentingnya menjalin hubungan harmonis, baik secara vertikal (Allah Swt), maupun secara horizontal (sosial).
Penulis: Zaenal Habin | Editor: Taufik Fazri

COMMENTS