![]() |
| Abdurrahman Hasan Habanka/tafsiralquran.id |
Dalam merespons hal di muka, penulis membagi pemicunya ke dalam dua kelompok, yaitu internal dan eksternal. Jika membincang kepada penyebab utama (hujan ekstrem), dalam diskursus fikih ekologi (fiqh al-bi’ah) maka ia masuk kepada penyebab internal (lazimnya disebut sunnatullah/hukum alam) dan ia bersifat transendental (ilahiyyah) tidak bisa terjamah secara akurat. Sedangkan faktor kedua (maraknya deforestasi), ia merupakan wilayah eksternal penyebabnya dapat diteropong dan diprediksi karena pelakunya ialah manusia sendiri (penulis sebut bersifat horizontal), lain halnya dengan faktor pertama yang berstatus vertikal. (Lihat, Agus Hermanto, Fikih Ekologis, 2021, hlm. 46) Faktor inilah (eksternal) akan menjadi titik pokus pembacaan penulis.
Sebagaimana telah diungkapkan di paragraf kedua, pada tulisan ini, penulis akan memotret terhadap tiga hal. Pertama, bagaimana peran SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang memuat 17 program dalam merawat ekologi ?. Kedua, bagaimana penafsiran kronologis Abdurrahman Habanakah terhadap ayat ekologis, tulisan ini hanya menjangkau kepada QS. Ar-Rum: 41 (meskipun banyak ayat al-Qur’an yang bermain dalam medan ekologi) ?. ketiga, merancang konklusi dari hasil pengkajian penulis.
Peran SDGs (Sustainable Development Goals) dalam Merawat Ekologi
dshdhhddj dndnjdnjdnIstilah SDGs atau dikenal dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, begitu pula istilah ekologi (korelasi manusia dengan alam sekitarnya), penulis anggap sudah cukup akrab dalam pendengaran pembaca (reader). Terlebih istilah kedua ini, dalam diskursus fikih memiliki pembahasan yang cukup serius, sehingga lahirlah diskursus fikih ekologi/ekoteologi (fiqh al-bi’ah), yakni cabang ilmu fikih yang memfokuskan bagaimana hubungan manusia selaku (khalifah fi al-ardh) terhadap alam dan sebaliknya. Agar tidak mendistorsi kajian, penulis terlebih dahulu memaparkan apa itu SDGs? apa saja programnya? Kemudian melirik poin apa saja yang berfungsi sebagai penjagaan ekologi?.
Apa itu SDGs? Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah agenda global yang dirancang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekitar tahun 2015 demi merespons beragam hambatan dalam konteks pembangunan dunia. Selain itu, dalam pembuatan setiap programnya PBB selalu mengedapankan prinsip hak asasi manusia agar terciptanya pembangunan yang berkeadilan dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kondisi tersebut, menurut penulis sehaluan (karena sama-sama mengutamakan hak kemanusiaan) dengan prinsip maqashid al-syari’ah (tujuan pokok syariat) yakni, tiada satupun hukum Islam (ahkam al-Islam) kecuali ia dibangun atas dasar kesejahteraan manusia (al-mashlahah al-nas), mencegah kerusakan (dar al-mafasid), dan mewujudkan kebermanfaatan (jalb al-manafi’). (lihat, Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam, 2018, hlm. 55)
Mengenai program yang diusung oleh SDGs mencakup 17 tujuan dengan 169 target yang dirancang untuk dicapai hingga tahun 2030, meliputi berbagai dimensi pembangunan berkelanjutan. Berikut urutan programnya: (1) tanpa kemiskinan, (2) tanpa kelaparan, (3) kehidupan sehat dan sejahtera, (4) pendidikan berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) air bersih dan sanitasi layak, (7) energi bersih dan terjangkau, (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, (9) industri, inovasi dan infrastruktur, (10) berkurangnya ketimpangan, (11) kota dan permukiman berkelanjutan, (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, (13) penanganan perubahan iklim, (14) ekosistem laut, (15) ekosistem daratan, (16) perdamaian, keadilan, dan kelembagaan tangguh, dan (17) kemitraan untuk mencapai tujuan. (lihat, unair.ac.id, Kenali 17 Tujuan SDGs dan Penjelasannya, 2025)
Bedasarkan hasil pembacaan penulis, peran SDGs dalam rangka menjaga ekologi secara umum terparkir di tiga poin utama, yakni pada poin ke-13 (tentang penanganan perubahan ilkim), poin ke-14 (ekosistem laut), dan poin ke-15 (ekosistem darat). Ketiga program ini, tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai (dalam rangka mensejahterakan manusia), misal: (1) poin ke-13 memiliki tujuan untuk mengatasi segala perubahan iklim/bencana dan impaknya, (2) poin ke-14 memuat tujuan agar senantiasa mengupayakan pelestarian ekosistem laut, pendayagunaan sumber daya maritim, penegasiaan limbah plastik, dan sejenisnya, terakhir (3) tujuan inti pada poin ke-15 ialah untuk menjaga, membudidayakan, dan meningkatkan pengaksesan ekosistem bumi secara berkepanjangan, mulai dari memelihara hutan tanpa deforestasi (penggundulan hutan), menaungi segala keanekaragaman hayati (flora/fauna), serta hal yang semisal.
Dari paparan di muka, penulis bisa memeras kesimpulannya (walaupun belum begitu sistematis) bahwa hadirnya SDGs (Sustainable Depvelopment Goals) beserta programnya ke ranah publik, berposisi sebagai pemeran utama (provokator utama) dalam mewujudkan kesadaran ekologis, menumbuhkan ekologis yang hijau (sehat tidak kebalikannya), serta mengajak umat manusia di seluruh dunia untuk selalu mengedepankan nilai-nilai cinta ekologis bukan sebaliknya (penulis sebut sejalan dengan kaidah: dar al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih).
Interpretasi
Ayat Ekologis (Surah Ar-Rum: 41) dalam Sorotan Tafsir Kronologis
Abdurrahman Habanakah
Mengapa
harus QS. Ar-Rum: 41? Umumnya ketika mengobrol perihal krisis lingkugan pasti
akan tertuju pada surah tersebut. Karena secara pesan, ayat tersebut memiliki
kritikan tajam akan perlakuan manusia terhadap lingkungan sekaligus lampu hijau
untuk melestarikan ekosistem daratan (flora/fauna) ataupun lautan. (lihat,
Refita, Tafsir Ayat-Ayat Ekologi Membangun Kesadaran Ekoteologis Berbasis
Al-Qur’an, 2025, hlm. 194) Bedanya dengan peneliti belakangan, tulisan ini
meneropongnya dari sisi kronologis (bukan susunan mushafi) guna
mendapatkan aspek historis
pendaratan verbum dei (kalam Ilahi). (lihat, M. Fajri, Pemikiran Al-Qur’an
Angelika Neuwirth dalam Structure and the Emergency of Community, 2021)
Pada episode ini, penulis mengkajinya dengan
tafsir kronologis Abdurrahman Hasan Habanakah al-Maidani dalam serial tafsir Ma’arij
al-Tafakkur wa Daqa’iq al-Tadabbur (eskalator refleksi dan esoteris
tadabur), yang berjumlah 15 jilid. Rancangan tafsirnya, merupakan aktivitas
serius al-Maidani dalam mengimplementasikan kaidah tadaburnya pada karya Qawa’id
al-Tadabur al-Amtsal li Kitabillah ‘Azza wa Jalla, yang merampung 40
kaidah. Singkatnya, jika pembaca ingin membaca tafsirnya diperlukan membaca
terlebih dahulu karya kaidah tadaburnya, guna mengetahui kekonsistensian
al-Maidani dalam menaburkan kaidahnya ke dalam karya tafsirnya. (detailnya
lihat, Robchatul Izzah, Kaidah Tadabur Menurut ‘Abd al-Rahman Habannakah, 2020)
Adapun cara penafsirannya sangat beragam,
penulis memetakannya menjadi lima poin: (1) prolog singkat surah, (2) menampilkan
teks ayat dan varian bacaannya (qira’ah), (3) tema pokok surah sesuai
munasabah, (4) pelajaran surah (durus as-surah) secara keseluruhuan. (5)
penafsiran surah beserta pesan tadaburnya, (6) menerangkan unsur uslubnya (balaghah).
Hemat penulis, metode ini tidak begitu konsisten,
acap kali ia menjelaskan dengan metode berbeda/tambahan di setiap titik surah
yang memiliki pesan krusial. (lihat, QS. Ar-Rum pada al-Fihrits/Daftar
Isi Tafsirnya Ma’arij al-Tafakur wa Daqa’iq al-Tadabbur, Vol. 15, hlm.
433-439)
QS. Ar-Rum dari sisi nuzul-nya berada
pada dereran ke-84 (menurut susunan mushaf, berada di posisi ke-30), secara
totalitas surah tersebut turun di Makkah (makkiyyah/ mendarat
pra-hijrah). Dari sisi pelajaran surah secara umum (durus as-surah), QS.
Ar-Rum: 41 masuk pada kelompok 6 (berlangsung dari ayat 40-45) berisi perihal khithab
(seruan) Tuhan kepada orang-orang musyrik (oposisi kenabian), bahwa Dialah yang
telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, kemu dian mematikan mereka,
lalu menghidupkan kembali mereka. Dan Mahasuci serta Mahatinggi Allah dari apa
yang mereka persekutukan (sasaran ayat ini berorientasi kepada kaum musyrik
karena ia turun di Makkah yang sarat akan gangguannya pada dakwah kenabian).
Di dalamnya juga terdapat penjelasan bahwa
manusia diciptakan berdasarkan fitrah Allah, yakni fitrah yang dengannya Allah
menciptakan spadaegala sesuatu dan menghidupkannya. Selain itu, tampaknya
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, ketika
mereka campur tangan dalam mengubah fitrah segala sesuatu, dengan dorongan
keinginan untuk menambah keuntungan materi bukan mengelolanya sesuai arahan
Tuhan. (lihat, Abdurrahman Habanakah, Ma’arij al-Tafakur wa Daqa’iq
al-Tadabbur,2006, Vol. 15, hlm. 122-123)
Menurut al-Maidani, penggunaan kata kerja
lampau pada QS. Ar-Rum: 41, tujuannya sebagai penegasan kepastian terjadinya
kerusakan (al-fasad), meskipun pada saat turunnya ayat kerusakan tersebut
belum sepenuhnya tampak, serta menunjukkan bahwa dalam ilmu Allah, peristiwa
masa depan dipandang seolah-olah telah terjadi, karena ilmu-Nya bersifat tetap
dan tidak berubah (ats-tsubut ghayr al-mutaghayyirat). Selain itu, ayat
ini juga mengandung isyarat mukjizat ilmiah al-Qur’an (mu’jizat al-‘ilmy),
yakni pemberitaan tentang fenomena kerusakan lingkungan yang akan muncul akibat
ulah manusia. Lebih lanjut, kerusakan di darat dan di laut dipahami sebagai
bentuk hukuman dan peringatan dari Allah, agar manusia merasakan sebagian
akibat perbuatan mereka, sehingga diharapkan mereka kembali kepada fitrah serta
jalan yang benar. (lihat, Abdurrahman Habanakah, Ma’arij al-Tafakur wa
Daqa’iq al-Tadabbur,2006, Vol. 15, hlm. 169-170)
Alhasil, dari penelurusan yang digerakkan oleh
penulis menunjukkan bahwa upaya dalam merawat ekologis (baik di daratan atau
lautan), SDGs telah memainkan perannya menjadi garda terdepan untuk memotivasi
umat manusia untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya, meskipun tidak
sedikit dari mereka yang masih besikap semena-mena (arogan). Kemudian, dari
sisi penafsiran kronologis, penulis merujuk kepada QS. Ar-Rum: 41 menurut
pandangan al-Maidani. Menurutnya, dari
sisi sasaran ayat ini merespons terhadap cideranya (rusaknya) perlakuan kaum
musyrikin Makkah terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga sejatinya kerusakan yang
berlangsung di daratan maupun di lautan dianggap sebagai wujud deraan Allah,
agar manusia (selaku pelaku) merasakan akibatnya, serta bisa kembali ke jalan
yang lurus (semacam adanya timbal balik/sebab akibat/hukum karma).
Demikianlah, hasil pengkajian penulis. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki celah kekurangan bahkan kesalahan.
Dengannya, penulis berharap kritikannya guna mengembangkan tulisan penulis.
Kemudian, penulis berharap agar pembaca bisa mengembangkan kembali kajian ini
menjadi lebih detail dan mendalam, sehingga kajian tafsir kronologis terus
menggema dalam ruang-ruang penafsiran (dirasat fi al-Qur’an). Wa
Allahu A’lam bi Ash-Shawab…
Penulis: Zaenal Habin | Editor: Taufik Fazri

COMMENTS