Salah satu fenomena yang belakangan ini memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim adalah kemunculan drama Korea berjudul S-Line. Drama ini mengisahkan tokoh utama yang memiliki kemampuan supranatural untuk melihat garis-garis merah di atas kepala seseorang, yang konon mencerminkan seberapa sering individu tersebut melakukan hubungan intim di luar ikatan pernikahan (zina) dengan lawan jenis.
Fenomena semacam itu jelas tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Secara implisit, tayangan tersebut berpotensi mendorong masyarakat khususnya kalangan remaja untuk melakukan tindakan yang tidak pantas, seperti mengumbar aib pribadi maupun orang lain, yang pada akhirnya dapat menormalisasi perilaku maksiat secara publik tanpa rasa malu.
Respons Al-Qur’an untuk Menutup Aurat
Salah satu ajaran pokok dalam Islam yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya ialah kewajiban menutup aurat. Misi dari ketentuan ini bukan semata-mata membatasi kebebasan dalam berpakaian, melainkan merupakan bentuk perlindungan diri dari hal-hal yang dapat mengancam atau merendahkan martabat manusia. Para sarjana Muslim meyakini bahwa perintah ini berlandaskan pada firman Allah dalam Surah Al-A‘raf ayat 28.
وَاِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَآ اٰبَاۤءَنَا وَاللّٰهُ اَمَرَنَا بِهَاۗ قُلْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِۗ اَتَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Menurut Imam Al-Alusi dalam Tafsir Ruh Al-Ma‘ani, istilah fahisyah mengacu pada perbuatan yang sangat keji atau tercela. Dalam konteks ayat yang dimaksud, terma tersebut merujuk pada tindakan seperti menyembah berhala, membuka aurat saat melakukan tawaf, serta berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya.
Selaras dengan pandangan Al-Alusi, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan respons Tuhan terhadap kebiasaan masyarakat Arab pada masa jahiliah yang enggan mengenakan pakaian saat menjalankan tawaf. Praktik ini dipandang sebagai tradisi warisan nenek moyang yang secara keliru diyakini berasal dari ajaran Allah.
Lebih lanjut, Rasulullah Saw. juga telah memberikan peringatan dini mengenai kemunculan fenomena serupa dengan S-Line, sebagaimana tercermin dalam sebuah hadis versi Abu Daud dari sahabat Ali.
لاَ تُبْرِزْ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرَنَّ إِلَى فَخِذِ حَىٍّ وَلاَ مَيِّتٍ
“Janganlah engkau mempertontonkan pahamu. Dan janganlah kalian para perempuan melihat paha orang yang hidup dan mati (HR. Abu Dawud)
Kandungan hadis tersebut secara implisit mengandung ajakan kepada seluruh manusia, khususnya kaum perempuan, untuk senantiasa menjaga diri dengan tidak menampakkan aurat, terutama di ruang-ruang publik.
Al-Qur’an secara konsisten mengecam segala bentuk perilaku yang merusak, sebagaimana tercermin dalam larangan keras memamerkan dosa yang termaktub dalam Surah Ali-Imran ayat 188.
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih."
Dalam Tafsir Fath al-Qadir, Imam Syaukani menjelaskan bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan, bukan terbatas pada individu yang menjadi sebab turunnya ayat (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab).
Oleh karena itu, siapa pun yang merasa bangga atas amalnya dan senang menerima pujian atas sesuatu yang sebenarnya tidak ia lakukan, tetap berada dalam ancaman siksa Ilahi.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Ia menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada individu yang gemar memamerkan amal secara berlebihan dan mengharapkan pujian atas sesuatu yang sejatinya tidak pernah mereka lakukan atau berikan.
Kandungan ayat ini juga sejalan dengan hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، فَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَليْهُ
“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa). Di antara bentuk terang-terangan itu adalah ketika seseorang melakukan suatu perbuatan (maksiat) pada malam hari, lalu di pagi harinya padahal Allah telah menutupinya, ia berkata: ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu,’ padahal ia telah bermalam dalam lindungan (aibnya ditutupi) oleh Rabb-nya, namun di pagi hari ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhari No. 6069 dan Muslim No.2990)
Dalam Al-Minhaj fi Syarh Sahih Muslim, Imam Nawawi memaknai terma mujarihin sebagai mereka yang mengumbar maksiat secara terbuka dan menyebarkannya, meskipun Allah telah menutupinya, tanpa keperluan yang dibenarkan.
Selain itu, jika konten positif yang kita buat dipraktikkan oleh orang lain, maka hal tersebut akan menjadi sumber pahala tersendiri bagi kita. Sebaliknya, apabila konten yang kita sebarkan bersifat negatif dan kemudian diikuti oleh banyak orang, maka kita pun akan turut menanggung dosa akibat pengaruh tersebut.