![]() |
| Santri membawa kitab bersama. Pinterest/Nuruddin Abdurahman |
Latar Belakang Polemik
Belakangan ini, stasiun televisi Trans7 menuai kritik tajam dari kalangan pesantren, santri, dan ormas Islam setelah salah satu program mereka kabarnya menayangkan segmen yang dianggap menyudutkan kehidupan di pondok pesantren. Judul dan narasi dalam tayangan menghadirkan kesan bahwa santri “minum susu harus jongkok”, kehidupan sehari-hari di pesantren terlalu feodal, dan pengabdian santri kepada kiai dianggap sebagai bentuk perbudakan.
Komunitas pesantren dan alumni di Kediri menuntut permintaan maaf resmi dari Trans7 atas pelecehan terhadap martabat santri dan kiai. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berbagai tokoh menilai tayangan tersebut melecehkan simbol keagamaan dan tidak mempertimbangkan konteks kearifan lokal pesantren.
Trans7 sendiri sudah menyampaikan permohonan maaf, sambil menyatakan kelalaian dalam pengeditan dan pengawasan tayangan.
Lantas apakah benar ada praktik “perbudakan” terhadap santri? Kalau tidak, bagaimana kita memahami fenomena “khidmah” (pelayanan santri kepada kiai) agar tidak disalahpahami? Dan bagaimana perspektif Islam melihat praktik relasi kuasa tersebut?
Siapa itu Santri?
Dalam konteks Indonesia, istilah santri merujuk kepada mereka yang belajar agama Islam secara intensif di pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam tradisional.
Santri biasanya tinggal di asrama, mengikuti pengajian kitab klasik (kitab kuning), serta berpartisipasi dalam kehidupan keseharian pesantren (gotong royong, kebersihan, pelayanan).
Santri bukanlah “hamba” dalam arti literal, melainkan status pembelajar agama yang juga hidup dalam ikatan disiplin, adab, dan tradisi pesantren.
Apa itu Khidmah?
Khidmah berasal dari bahasa Arab (خدمة) yang berarti “pelayanan” atau “mengabdi”. Dalam konteks pesantren, khidmah berarti santri melayani kiai atau pengasuh pondok bisa membantu dalam hal rumah tangga, urusan pesantren, pembinaan santri lain, menjaga fasilitas, dan sebagainya.
Tradisi khidmah dalam pesantren sudah lama ada dan menjadi bagian dari pembentukan karakter santri disiplin, rendah hati, bertanggung jawab.
Namun, khidmah bisa disalahpahami jika praktiknya tidak proporsional ( tidak sesuai ) atau dipaksa tanpa pemahaman konteks di sinilah tuduhan “perbudakan” muncul.
Beberapa pihak melihat bahwa tradisi khidmah bisa menimbulkan kondisi sebagai berikut:
1. Ketimpangan kuasa
2. Ritualisme ekstrem dan “tabarruk” (mencari berkah)
3. Kesalahpahaman publik
Media menyajikan segmen sensasional tanpa memahami filosofi atau konteks pendidikan pesantren. Tayangan Trans7 disebut tidak melakukan riset mendalam, melainkan memanfaatkan stereotip demi rating.
Para pengasuh dan santri menyatakan bahwa tuduhan “perbudakan” itu tidak tepat. Mereka menekankan bahwa khidmah dilakukan dengan kesadaran, ikhlas, dan dalam lingkungan yang mendidik.
Menurut KH Basori Alwi (pengasuh di Kediri), "bahasa perbudakan terjadi di kalangan orang tidak berilmu. Kalau di kalangan santri tidak ada perbudakan sama sekali. Para santri sangat bersenang hati ketika diperintah sang gurunya."
Penulis: Sandy Guswimansyah | Editor: Taufik Fazri

COMMENTS