Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQTAF) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon kembali menghadirkan salah satu agenda intelektual tahunan yang selalu dinantikan, yakni Seminar Nasional IQTAF Fest XIII. Tahun ini, seminar mengusung tema menarik dan segar, yakni “Tafsir Sunda: Proses Dialogisasi Kultural dan Tafsir.”
Acara yang digelar di Auditorium Rektorat UIN SSC pada Jumat, 10 Oktober 2025 ini menghadirkan narasumber tunggal, Prof. Dr. Jajang A. Rohmana, M.Ag, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan moderator Alwi Haddad, S.Ag, alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN SSC.
Membaca Al-Qur’an sebagai Realitas Kebudayaan
Dalam sambutan pembuka, Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Kiyai Dr. H. Mohamad Yahya, M.Hum. Menegaskan pentingnya mengembangkan kajian tafsir yang kontekstual dan berakar pada realitas sosial budaya masyarakat. Menurutnya, praktik pembacaan Al-Qur'an tidak hanya menyentuh aspek ilahiah yang transendental, melainkan harus menyapa pada ranah kemanusiaan yang bersifat historisitas.
Pernyataan tersebut dilaporkan dengan ungkapannya: “membaca Al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai realitas kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa dinamika kajian tafsir dewasa ini semakin lekat dengan corak humaniora. Tafsir tidak lagi berdiri di menara gading teks, tetapi berinteraksi secara aktif dengan budaya, bahasa, dan nilai-nilai lokal yang mengitarinya.
Prof. Jajang dan Tafsir Sunda: Cermin Budaya dalam Kalam Ilahi
Sebagai akademisi kelahiran Subang, Prof. Jajang A. Rohmana dikenal luas melalui kajian tafsirnya yang berpijak pada perspektif budaya. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan bahwa Tafsir Sunda merupakan manifestasi dari produk budaya lokal yang lahir dari perjumpaan antara teks Al-Qur’an dan bahasa Sunda sebagai medium ekspresinya.
Menurutnya, setiap tafsir yang ditulis dalam bahasa etnis tertentu pasti memuat unsur budaya, terutama dalam aspek kebahasaan. Jadi setiap penafsiran yang diproduksi oleh mufasir akan selalu terikat dengan dua hal, yakni al-'aql al-mukawwan (nalar budaya) dan al-'aql al-mukawwin (nalar murni mufasir). Kedua elemen inilah yang selalu membelenggu dalam setiap interpretasi penafsir.
Misal, tafsir yang dirancang oleh mufasir dengan nuansa Sunda, pasti akan memuat unsur-unsur kesundaan. Baik dari segi budaya maupun sisi kebahasaannya. Dari sinilah dapat dipastikan bahwa setiap produk tafsir, tidak terlepas dari dua nalar di muka (al-'aql al-mukawwan dan al-mukawwin).
Hal demikian juga ditegaskan bahwa, “Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin budaya. Ketika Al-Qur’an diterjemahkan atau ditafsirkan ke dalam bahasa daerah, maka nilai-nilai budaya ikut memberi warna dalam penafsiran,” jelasnya. (lihat: diktum QS. Ibrahim: 4 dan QS. Ar-Rum: 22)
Merawat Keilmuan, Menghidupkan Kearifan Lokal
Melalui momentum seminar ini, Prof. Jajang mengajak mahasiswa IAT (ilmu Al-Qur'an dan tafsir) dan akademisi lainnya untuk terus memperkaya wacana tafsir melalui pendekatan budaya dan kemanusiaan. Pendekatan semacam ini tidak hanya mempertajam pemahaman terhadap makna Al-Qur’an, tetapi juga memperkuat jembatan (baca: hubungan)antara teks suci dan kehidupan nyata masyarakat.
Dengan demikian, momentum Seminar Nasional IQTAF Fest XIII menjadi ruang dialog penting antara tradisi ketafsiran dan dinamika budaya Nusantara. Sejalan dengan semangat itu, Prof. Jajang menutup dengan harapan agar kegiatan semacam ini terus berlanjut, menjadi lahan subur bagi lahirnya tafsir yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga membumi. Hasilnya, Al-Qur'an akan menjadi teks yang hidup di setiap lintasan zaman.
Penulis: Zaenal Habin | Editor: Maftuha Salmah Salsabila