Hari Raya Iduladha bukan sekadar seremoni individual biasa, melainkan momentum penting untuk menampilkan nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, solidaritas, dan kemaslahatan sosial.
Dalam pandangan Islam, perayaan kurban tidak hanya dianggap sebagai pelaksanaan perintah Allah Swt semata, tetapi juga sebagai simbol wujud rasa syukur kepada-Nya. Hal ini tercermin dengan konsep rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan umat Muslim untuk menjadi agen penyebar kebaikan bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Sebagaimana terekam dalam QS. Al-Ma’idah: 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, menjelaskan bahwa pada ayat tersebut Allah Swt selaku as-syari’(pembuat hukum) mengajak para hamba-Nya yang beriman agar saling membantu dalam konteks kebaikan serta melarang tolong-menolong dalam hal kebatilan.
Dijelaskan dalam Kamus Al-Munawwir, bahwa term kurban secara etimologi berasal dari bahasa Arab “qariba-yaqrabu-qurban wa qurbanan wa qirbanan,”yang bermakna dekat. Maksudnya ialah upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menegakkan berbagai perintah-Nya dan menjauhi segala yang dimurkai-Nya.
Dalam istilah agama kata kurban disebut “udhhiyah”bentuk plural dari kata “dhahiyyah”derivasi dari kata “dhaha”yang berarti waktu duha, yaitu penyembelihan hewan pada waktu duha antara tanggal 10 hingga 13 bulan Zulhijah. Dari praktik ini, kemudian lahir term Iduladha.
Ibadah kurban dalam dimensi vertikal berfungsi sebagai simbol untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sedangkan dalam dimensi horizontal, ibadah ini melambangkan hubungan sosial yang bertujuan memberikan kebahagiaan kepada kaum fakir, terutama pada Hari Raya Iduladha.
Oleh karena itu, dalam perspektif kesarjanaan Islam, daging kurban seyogyanya disalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, meskipun sebagian dapat disisihkan untuk dikonsumsi oleh shahib al-qurban (pihak yang berkurban), dengan aturan memprioritaskan kaum fakir dan miskin. Hal tersebut terekam dalam QS. Al-Hajj: 28:
فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَۖ
“Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.”
Mengenai penjelasan ayat tersebut, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir fi Aqidah wa Syari’ah wa Al-Manhaj berkomentar bahwa ayat ini mengandung perintah untuk turut memberikan makanan kepada mereka yang sedang mengalami kesulitan dan kemiskinan, sekaligus menganjurkan untuk ikut memakan daging hewan kurban, karena pada masa Jahiliah masyarakat cenderung menghindari memakan daging kurban tersebut.
keadaan ini diperkuat adanya rekaman hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw, setelah menyembelih unta kurbannya, menginstruksikan agar diambil sebagian daging dari setiap unta yang disembelih, kemudian beliau memasaknya, memakannya, dan meminum kuahnya.
Pendapat tersebut senada dengan pernyataan Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah. Ia menjelaskan bahwa perubahan redaksi ayat itu ditujukan secara khusus untuk umat Nabi Muhammad Saw, dengan maksud menegaskan bahwa memakan daging kurban diperbolehkan.
Hal ini karena pada masa pra-Islam, masyarakat Jahiliah enggan mengonsumsi daging kurban, atau karena Nabi Saw pernah melarangnya. Dengan demikian, perintah memakan daging kurban bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebuah anjuran atau rukhshah.
Dari uraian tersebut, bisa dimaknai bahwa esensi ibadah kurban mengandung makna yang mendalam, tidak hanya sebagai bentuk ketaatan vertikal kepada Allah Swt, melainkan juga sebagai manifestasi kepedulian sosial.
Selain itu, ibadah kurban juga dipandang sebagai simbol rasa syukur atas nikmat Allah dan pengingat akan tanggung jawab manusia sebagai khalifah fi al-ardh (pemimpin di muka bumi) untuk selalu memakmurkan kehidupan dan meluhurkan nilai kemanusiaan.