|  | 
| Pemimpin memandu anggotanya menuju cahaya keberhasilan. Pinterest/Freepik | 
Pasca perayaan Kemerdekaan Republik
Indonesia ke-80, yang memuat motto “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera,
Indonesia Maju.” 
Jika dimaknai, slogan tersebut
merepresentasikan visi kolektif sekaligus arah pembangunan nasional yang hendak
dicapai, dengan menekankan pentingnya persatuan, kedaulatan, kesejahteraan,
serta kemajuan bangsa.
Namun, di balik semarak peringatan
Kemerdekaan ke-80, publik justru dihadapkan pada ironi yang cukup krusial.
Seperti korupsi yang tak kunjung reda, seakan menjadi konsistensi yang abadi
(khalidan fiha), polemik pengibaran bendera one-piece (yang masih
diperbincangkan secara sengit), dan tragedi tewasnya pengemudi ojek online
(ojol) yang terlindas mobil Brimob saat aksi di depan DPR, serta
perkara-perkara hangat lainnya.
Sependek pembacaan penulis, gelagat
semacam ini muncul akibat adanya kesenjangan semangat pribadi Qur’ani yang
belum mengkristal dalam benak masyarakat umumnya dan terkhusus bagi para
administratur yang memotori arus kemajuan bangsa Indonesia.
Konsekuensinya, beragam persoalan destruktif hadir ke permukaan dan terlihat paradoks dengan slogan tersebut. Padahal kalau penulis cermati, Al-Qur’an sebagai sumber primer Islam selalu menyinari umat Muslim dalam menentukan sosok pemimpin yang ideal dalam binaan Ilahiah.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, penulis terdorong untuk melakukan pembacaan ulang terhadap wahyu ilahi. Dengan memetakan lima ayat Al-Quran yang bermain dalam persoalan tersebut (pemimpin Qur’ani).
Refleksi Terma Khalifah dalam
Nyanyian QS. Al-Baqarah: 30 
Pembahasan mengenai istilah khalifah kerap dikaitkan dengan legitimasi superioritas manusia atas makhluk lain, serta sering dipahami dalam kemasan politik dan kekuasaan.
Jika dicermati, terma khalifah yang tertata dari huruf kha, lam, dan fa merupakan derivasi dari kata khalafa–yakhlufu–khalfan yang bermakna “mengganti”. Ibnu Faris (w. 395 H) dalam karyanya yang monumental, Mu‘jam Maqayis al-Lughah, menjelaskan bahwa istilah khalifah mengandung tiga pokok makna. Pertama, sesuatu yang datang setelah sesuatu untuk mengambil alih posisi atau kedudukannya. Kedua, memiliki perbedaan dari yang sebelumnya. Ketiga, menunjuk pada perubahan, pergantian, atau pergeseran. (Lihat: Mu‘jam Maqayis al-Lughah, Ibn Faris)
Melalui analisis kebahasaan
tersebut, penulis mengikhtisarkan bahwa terma khalifah pada basisnya bermakna
“pengganti” Artinya, seseorang yang hadir setelah orang lain untuk meneruskan
tugas yang telah dijalankan sebelumnya, atau mengambil alih kedudukan dengan
tujuan melakukan transformasi.
Dengan demikian, prinsip tersebut selaras dengan semangat Qur’ani yang tercermin dalam QS. Al-Baqarah (2): 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah (pengganti, pemimpin, penguasa, atau pengelola alam semesta) di bumi.”
Diberitakan dalam kitab fathu al-Rahman li-Thalib al-Ayat al-Qur’an, kreasi Imam Alami Zadah al-Maqdisi. Menurutnya, istilah khalifah tercatat kurang lebih delapan kali yang terartikulasi dalam sejumlah ayat, yakni: 1) QS. Al-Baqarah: 3 (singular), 2) QS. Sad: 26 (singular), 3) QS. Al-An’am: 160 (plural), 4) QS. Yunus: 14 (plural), 5) QS. Yunus: 73 (plural), 6) QS. Fatir: 39 (plural), 7) QS. Al-A’raf: 69 (plural), dan 8) QS. An-Naml: 62 (plural). (Lihat: Fathu al-Rahman li-Thalib al-Ayat al-Qur’an, 2012, hal. 238)
Tidak hanya itu, Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilal al-Qur’an menjelaskan bahwa amanah kekhalifahan yang diemban manusia merupakan kedudukan yang luhur. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menjalankan delegasi tersebut dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. (Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Jilid I, hlm. 67)
Sehingga apabila diktum ayat
tersebut diperas maknanya, tampak jelas bahwa Al-Qur’an memberikan peringatan
tegas bahwa seorang khalifah atau pemimpin harus mengemban jabatannya secara
proporsional. Sebab, kepemimpinan bukanlah sekadar status sosial, melainkan
amanah Ilahi yang sakral dan tidak boleh mendistorsinya.
Lima Level Menjadi Pemimpin Qur’ani
Dalam karyanya Islam dan Modernitas, Fazlur Rahman menegaskan bahwa perhatian utama Al-Qur’an berorientasi pada pembentukan akhlak yang luhur sekaligus membangun tatanan sosial yang berlandaskan keadilan dalam bingkai nilai-nilai keilahian. (Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm. 15–17)
Jargon tersebut, menurut penulis
selaras dengan semangat Qur’ani yang tertuang dalam QS. An-Nahl: 89. Ayat ini
menegaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an dalam setiap lintasan zaman, akan
senantiasa menyinari beragam persoalan serta sebagai petunjuk yang
transendental.
Dengan adanya motto tersebut, ditambah situasi bangsa yang sedang dihadapkan beragam persoalan. Maka penulis terdorong untuk melihat kembali panduan Ilahi dalam merespons persoalan yang ada, dengan meramu lima level ayat yang relevan sebagai landasan menuju figur pejabat berbasis Qur’ani. Berikut uraian selengkapnya:
1. Level Pertama: Memiliki Kekuatan Takwa yang Kuat
Selain dituntut untuk bersikap jujur dan amanah, seorang pejabat juga harus menjadikan prinsip keadilan sebagai pilar utama dalam menjalankan kinerjanya. Dengan demikian, setiap keputusan dan tindakan yang diambil dapat menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat. (Lihat: QS. Al-Maidah: 8)
3. Level Ketiga: Mencerminkan Sikap Santun, Pemurah, dan Gemar Bermufakat
Pada taraf ini, seorang administratur dituntut untuk menghiasi dirinya dengan sikap santun, kelapangan hati terhadap rakyatnya, serta menjunjung tinggi musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan. (Lihat: QS. Ali-Imran: 159)
4. Level Keempat: Kecakapan dalam Mengendarai Hitamnya Nafsu
Seorang administratur yang gagal memotori hawa nafsunya akan mudah tergelincir dalam jurang api kehinaan. Oleh karena itu, Al-Qur’an menuntun para pemimpin untuk terlebih dahulu menundukkan nafsu sebelum mengarahkan roda kekuasaannya, agar tidak tercemari oleh dominasi syahwat duniawi. (Lihat: QS. Sad: 26, dan QS. Asy-Syams: 9-10)
5. Level Kelima: Menyandang Kapabilitas Jujur dan Amanah
Prasyarat akhir yang perlu ditekankan bagi seorang administratur ialah kecakapan moral, terutama sikap jujur dan amanah, yakni kemampuan menempatkan sesuatu sesuai porsinya. (Lihat: QS. An-Nisa: 58)
Penulis: Zaenal Habin | Editor: Taufik Fazri 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
COMMENTS